W E L C O M E.......

Selamat datang di Dunia Mursali Irwan. Blog ini cuman buat sharing tulisan, apa aja.. bebas tapi terbatas... No Porn, No Advertise, No Sarkasm... and No..No... yang lainnya, pokoknya yang nggak baik-baik nggak boleh ditulis di sini.

Selasa, 16 September 2008

KEMISKINAN: SEBUAH KOMODITI YANG LARIS DIJUAL


Pada sebuah tayangan televisi, tampak seorang peserta lomba nyanyi sedang menceritakan sekelumit kisah hidupnya di depan para komentator dan penonton. Ia menceritakan bagaimana sulitnya menjalani kehidupan pada saat sekarang ini, singkatnya ia menceritakan tentang “kemiskinan” hidupnya. Tidak berapa lama poling SMS untuk peserta ini meningkat.

Cerita lain, pada sebuah kampanye politik, seorang calon pemimpin daerah tampak sedang berkoar-koar tentang pemberantasan kemiskinan, janji-janji tentang pendidikan gratis dan kesehatan gratis begitu manis terngiang di telinga para peserta kampanye. Bahkan pada saat itu hebatnya si calon pemimpin tersebut membagi-bagikan sembako gratis untuk menarik warga agar kelak mereka memilihnya sebagai pemimpin daerah.

Begitu dahsyat kata “kemiskinan” sehingga banyak orang menggunakannya sebagai sarana untuk mencapai popularitas, jabatan, kedudukan bahkan untuk mencapai kekayaan pribadi. Kemiskinan menjadi suatu komoditi yang banyak dipakai orang untuk “dijual” kepada orang lain, tidak akan ada yang menuntut karena kata “kemiskinan” tidak pernah dipatenkan untuk menjadi hak milik seseorang. Tetapi kemiskinan yang sebenarnya telah menjadi bagian kehidupan bagi sebagian penduduk di republik ini.

HAKIKAT KEMISKINAN

Biro Pusat Statistik (BPS) dalam menghitung batas miskin kajian utamanya didasarkan pada ukuran pendapatan (ukuran finansial), dimana batas kemiskinan dihitung dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan. Untuk kebutuhan makanan digunakan patokan 2100 kalori perhari. Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Pengeluaran bukan makanan ini dibedakan antara perkotaan dan pedesaan. Pola ini telah dianut secara konsisten oleh BPS sejak tahun 1976.

Menurut kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) masyarakat miskin secara umum ditandai oleh ketidakberdayaan/ ketidakmampuan/powerlessness :

1. Tidak mempunyai daya/kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan atau istilahnya basic need deprivation.

2. Tidak mempunyai daya/kemampuan untuk melakukan kegiatan usaha produktif/ unproductiveness.

3. Tidak mempunyai daya/kemampuan untuk menjangkau akses sumberdaya sosial dan ekonomi/inaccessibility.

4. Tidak mempunyai daya/kemampuan menentukan nasibnya sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis dan fatalistic/vulnerability.

5. Tidak mempunyai daya/kemampuan untuk membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah/no freedom for poor.

Berdasarkan pengertian tersebut, secara konseptual maka kemiskinan adalah suatu keadaan di mana seseorang/kelompok orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok atau mempunyai sumber mata pencaharian akan tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga yang layak bagi kemanusiaan.

Fakta bahwa seseorang yang hidup miskin akan menurun kepada anak cucunya tidak bisa dipungkiri. Kita bisa analisa dengan siklus kemiskinan, seseorang miskin tidak dapat memberikan makanan yang sehat dan bergizi serta pendidikan yang cukup kepada anaknya, tanpa makanan sehat dan bergizi serta pendidikan yang layak seseorang akan menjadi bodoh, dengan menjadi bodoh seseorang akan sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, tanpa pekerjaan yang layak seseorang tidak akan mendapatkan penghasilan yang cukup dan akhirnya akan lahir kembali satu kemiskinan.

SIAPA BERTANGGUNG JAWAB

Tidak ada orang, kelompok dan atau institusi yang mau meng-claim, bahwa dia atau merekalah yang bertanggung jawab atas terjadinya kemiskinan, seolah-olah kemiskinan terjadi begitu saja. Apakah akan kita serahkan saja masalah kemiskinan ini kepada negara? Padahal banyak orang yang menggunakan kemiskinan ini untuk kepentingannya sendiri.

Memang pada UUD 1945 disebutkan bahwa “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Tapi kita harus ingat pula bahwa sejak awal kemerdekaan, bahkan sejak UUD 1945 dipersiapkan, kita telah menempatkan rakyat sebagai subjek terhormat dalam sistem ekonomi Indonesia. Rakyatlah yang kita bangun, bukan ekonominya. Ini sesuai dengan dasar dan ideologi kerakyatan yang menyertai tekad untuk Merdeka.

Kita menetapkan Pasal 27 (Ayat 2): "...Tiap-tiap warganegara berhak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan...". Inilah yang ada di UUD 1945. Bahwa pertumbuhan ekonomi (GDP) itu penting. "Pekerjaan" dan "penghidupan yang layak bagi kemanusiaan" inilah yang substansial. Manusianyalah yang dibangun, bukan ekonominya semata-mata.

Dari wacana tersebut di atas seolah-olah terlintas bahwa kemiskinan menjadi tanggung jawab negara. Negara lah yang bertanggung jawab dalam mengentaskan kemiskinan. Tetapi haruskah masalah tersebut seluruhnya dibebankan kepada negara? Lalu apa tanggung jawab kita sebagai warga negara? Pada dasarnya sifat tolong menolong antar sesama sudah menjadi kewajiban kita sebagai umat manusia. Apapun bentuknya, menolong masyarakat miskin adalah menjadi tanggung jawab kita bersama.